Monday, August 31, 2015

Motret Model pakai Mamiya RB67..... Gampaang

Sejak beralih ke Medium format analog, saya menemukan apa yang kadang tidak bisa dihasilkan oleh full frame analog atau 35mm. Sekedar flashback, sebelum memakai medium format analog, saya memakai Yashica FX3 Super, Leica M6 dan juga Minolta XGM yang merupakan kamera analog yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan gambar yang menakjubkan.....

Fast forward, setelah pindah ke medium format (walaupun masih kadang memakai 35mm), saya melihat apa yang tidak bisa didapatkan di 35mm, yaitu dimensi gambar dan juga dynamic range yang sungguh memikat dari sistem medium format. Saat ini saya memiliki 3 kamera medium format dengan tipe yang berbeda, yaitu Mamiya RB67 dengan format 6x7, Mamiya C330 Professional TLR dengan sistem Twin Lens Reflex dan yang terbaru adalah Hasselblad 2000FC/M dengan ssistem 6x6.

Dua terakhir akan saya ulas kemudian, saat ini saya ingin membagikan pengalaman memotret dengan menggunakan Mamiya RB67.

copyright of andre 2015, use with permission
Mamiya RB67 dengan Lensa 50mm f/4 dan lensa 90mm f/3.8

copyright of andre 2015, use with permission
Beberapa film 120mm yang saya pakai

copyright of andre 2015, use with permission
Racun.... :)

copyright of andre 2015, use with permission
Film selesai cuci siap di scan

copyright of andre 2015, use with permission
Scanner Epson V600

copyright of andre 2015, use with permission
Shoebox scanner

copyright of andre 2015, use with permission
Plat Akrilik yang juga bisa saya gunakan sebagai scanner



Tentunya selain kamera, anda memerlukan film 120mm baik BW maupun warna, film jenis ini masih banyak koq beredar di pasaran, baik dalam maupun luar negeri dan tidak sulit dicari. Untuk film BW saya melakukan proses develop sendiri, setiap roll memakan waktu kurang lebih 30 menit untuk proses develop atau pencucian, dan setelah kering siap untuk di scan dan di digitalisasi....

Pertanyaannya: Kenapa sih repot2 pake film trus diubah ke digital, langsung aja pakai digital  kan lebih praktis?
Jawaban: Betul sekarang dengan adanya era digital dan didukung dengan jaringan yang kuat dan stabil, maka dengan menggunakan ponsel pintar pun anda sudah bisa menghasilkan gambar yang baik dan layak untuk dibagikan ke teman anda, akan tetapi seperti halnya mobil klasik, maka penggunaan analog bagi orang yang sudah hobby merupakan sebuah tantangan yang sangat mengasikkan, dimana anda tidak bisa tahu apakah hasil jepretan anda jadi atau tidak sampai film tersebut dicuci dan di scan, selain itu memotret dengan analog membuat anda menjadi perhatian terhadap komposisi, exposure, lighting dan juga aperture karena semua dilakukan dengan cara yang manual.

Tetapi mari kita tidak terjebak dengan analog atau digital, anggaplah memotret dengan analog adalah hobby lain dari kebiasaan memotret kita.

Saya lanjutkan dengan proses pemotretan. Karena berat dari RB67 ini cukup membebani leher, maka saya terkadang menggunakan tripod sehingga tidak terlalu melelahkan dalam setiap sesi pemotretan.

Lighting saya lebih menyukai natural light ataupun window light karena memberikan kesan kuat pada gambar, walaupun bisa juga kita menggunakan flash light ataupun studio light karena RB67 sydah memiliki kemampuan synchronisasi dengan lampu studio anda.

copyright of andre 2015, use with permission
Window Light
Pada gambar-gambar yang saya tampilkan di tulisan ini semua menggunakan film Ilford HP5 Plus 400 dan menggunakan tripod, untuk detail exif tidak bisa saya tampilkan, karena saya tidak mencatat setiap gambar yg saya ambil :) dan untuk lightmeter saya gunakan aplikasi Lightmeter pada iPhone saya :)

copyright of andre 2015, use with permission
Available light

copyright of andre 2015, use with permission
Available Light
Dari ketiga gambar diatas maka terlihat dengan jelas perbedaan nyata antara digital dan analog serta full frame dengan medium format. Dimensi gambar yang dihasilkan oleh medium format memang berkesan berbeda dengan 35mm, dan umumnya format medium ini digunakan oleh para fotografer studio yang membutuhkan detil dan karakter pada setiap fotonya.

Warna atau BW? Rasanya untuk pilihan penggunaan film bisa tergantung dari kesukaan sang fotografer, semua kamera, film dan prosesing harusnya terlihat bagus dimata fotografernya, barulah dari karya tersebut anda selaku fotografer belajar untuk memuaskan mata para penikmat hasil karya foto anda.

Saya akan berikan beberapa gambar lagi hasil pemotretan di satu tempat dengan model mbak Tyas Mikory. Selamat menikmati dan juga selamat berkarya.....

Salam

copyright of andre 2015, use with permission

copyright of andre 2015, use with permission

copyright of andre 2015, use with permission

Thursday, June 4, 2015

Alor..... am ready to go.....

Just one more sleep before going to Alor Island, very excited to explore one of the remote places in Indonesia, it will be a thrilling 5 days of adventure, photo taking and all good activities.

So basically we have to take 3,5 hours flight from Jakarta to Kupang, and then waiting for 4 hours connecting flight to Alor

Will have the story about this beautiful Island shortly after the trip.

Please sit tight guys.... XOXO

Flight Plan


Wednesday, June 3, 2015

Ultah Lensamanual.net di Banyumas - Liputan dengan Yashica FX3 super dan Rollei 400 RPX Film

Kiprah lensamanual.net di kancah fotografi nasional telah memasuki usia ke 6 (Selamat yaaa), selama 6 tahun LM sudah exsis dan aktif menggagas serta mengumpulkan parapecinta lensa manual di seluruh Indonesia.

Untuk event tahun ini diperingati di kota Purwokerto, dan dengan total peserta diatas 100 orang dari berbagai kota baik di Jawa, Sumatera maupun Sulawesi, event ini menjadi sangat hangat dan akrab pada tanggal 2 Mei 2015 kemarin.

Salah satu budaya yang ditampilkan adalah budaya lokal Banyumas dengan mengambil tempat di dareah Kali Bacin, di pinggir sungai Serayu.

Saya menggunakan kamera Yashica FX-3 Super 2000 dengan film Rollei RPX 400 BW

images are copyrighted, use with permission
Ebeg Kecil

images are copyrighted, use with permission
Children Play


images are copyrighted, use with permission
Terpesona

images are copyrighted, use with permission
Three Elders

images are copyrighted, use with permission
Playing Tall

images are copyrighted, use with permission
Numbuk Beras

images are copyrighted, use with permission
Bikin Keranjang

Friday, May 29, 2015

Sehari di Desa Okang Paga Todanara, Pulau Lembata NTT

Hari ketiga saya berada di pulau Lembata perjalanan dilanjutkan menuju Dusun Okang Paga Desa Todanara....

Sepanjang Perjalanan kami melewati beberapa tempat yang menarik  seperti teluk Waienga, dimana ikan paus sering terdampar disana karena kondisi seabed yang mempunyai banyak karang dan palung, sehingga membuat sonar ikan paus menjadi sedikit terganggu dan akhirnya mereka terdampar. Tahun lalu ada 5 ekor paus biru (Blue Whale) yang terdampar disana, dan 4 berhasil dikembalikan ke laut, sedangkan 1 mati karena terlambat dikembalikan.

Teluk Waienga, perhatikan area putih dimana ikan paus sering terjebak disana

Selain itu juga, kami melewati sebuah desa yaitu Desa Kimakamak, desa lokal penghasil kerang mutiara, ada kearifan lokal di desa itu dimana ada kawasan tertutup yang hanya boleh dipancing pada bulan November saja. Selain bulan November, tempat ini dilarang untuk dipancing dan diganggu, karena memang tempat ini menjadi tempat bertelurnya ikan-ikan dan secara tidak langsung menjadi tempat konservasi ikan disana.

Hejeri alami tempat bertelurnya ikan sekarang dimanfaatkan oleh Australia untuk berternak kerang mutiara disana..... (Koq bukan Indonesia saja ya??)

Akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan utama, yaitu desa Okang Paga, kami disambut oleh para pejabat desa setempat dan juga dengan tari-tarian lokal.

Seorang anak di Desa Okang Paga

Setelah acara tarian penyambutan, dilanjutkan dengan dilakukannya ritual adat desa Okang Paga dalam menyambut tamu desa. Tari ini sedikit digabungkan dengan tari perang adat desa Okang Paga.




Setelah tarian penyambutan, maka dilanjutkan dengan ritual kepada leluhur untuk memohon ijin


 Acara dilanjutkan dengan melihat cara mereka menenun mulai dari memetik kapas sampai menjadi tenunan, sungguh suatu proses yang sangat memakan waktu, proses pewarnaan bisa mencapai 10-20 tahun jika menginginkan warna2 yang khas dan bisa baru diselesaikan oleh 2 generasi. Harga kain tenun pun bertingkat-tingkat tergantung dari kastanya. di Ile ape tenun dibagi kategori sebagai berikut:
  1. Tenun Bangsawan kisaran harga 20-50 juta
  2. Tenun Ohin yang banyak menggunakan warna merah dan seluruh pewarnaan menggunakan akar mengkudu kisaran harga 15-20 juta
  3. Tenun Hebaken dengan motif atas dan bawah hitam kisaran harga 2-5 juta
  4. Tenun Topom dengan motif pelangi atau garis-garis kisaran harga 200rb - 600rb
Dengan lamanya proses pembuatan tenun ini, maka tidaklah heran jika harga tenun dipatok cukup tinggi, sebagai ilustrasi jika seorang warga membuat tenun Ohin dan memakan waktu selama 10 tahun proses pewarnaan, maka jika harga akhir tenun tersebut Rp. 20juta, berarti sang penenun hanya dibayar Rp. 2 juta per tahun.

Mama Alena, ketua sanggar tenun Okang paga sedang merapihkan pola yang tidak lurus

Tenun ikat yang memakan waktu 10 tahun untuk pewarnaan

Bapa Iljas Lesu sedang menerangkan perihal tenun

Same smile :)

proses memenun, bisa memakan waktu sebulan

proses mengikat pola

Selanjutnya kami makan siang bersama dengan penduduk lokal, beberapa hidangan khas tersaji dimeja seperti acar ikan mentah, ikan bakar, kacang bakar dan jagung titi, tidak ketinggalan tuak lontar yang selalu ada di setiap kesempatan.

my lunch.. jagung titi, acar ikan mentah dan ikan bakar

jagung titi

Bapa Iljas sedang meminum tuak Lontar

saat makan ada insiden kecil dimana salah seorang rekan secara tidak sengaja menginjak salah satu anjing yang sedang berada di bawah meja dan anjing itu langsung menggigit, di bawah kepanikan dan kelucuan, kami tetap melanjutkan acara dengan ceria.

foto tersangka :)
Acara kami di Dusun Okang Paga ditutup oleh tarian bersama dengan warga setempat.... cukup menarik dan menyenangkan




setelah semua acara selesai dan dibarengi dengan keliling desa untuk melihat aktivitas warga sehari hari, kami melanjutkan perjalanan menuju teluk Waienga untuk menikmati indahnya matahari terbenam dibalik gunung Ape (Ile Ape) sambil melihat pulau kelelawar

perjalanan pulang ke daratan

matahari terbenam di balik Gunung Ape
indahnya Indonesiaku
Perahu cadangan juga bocor

Begitu indah dan damainya Indonesia Timur, dan tempat yang indah ini wajib kita pelihara bersama agar dikemudian hari bisa kita wariskan kepada anak cucu kita semua.

Foto-foto diambil dengan menggunakan HP Sony Z3, kamera Fuji XT1 dan kamera Leica Monochrom
Semua foto dan video di blog dilindungi oleh undang-undang hak cipta.
gunakan dengan ijin penulis.

 Foto-foto lainnya:
Biji Damar, biji ini akan ditumbuk dan digulung dengan kapas untuk menjadi alat penerangan warga

pembuat garam

menutup hari dengan mengunjungi rumah sakit terdekat untuk memeriksakan luka gigitan





Profil Kehidupan di Lamalera Lembata, NTT


Kecamatan Lamalera yang terletak di pulau Lembata, propinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai keunikan tersendiri didalam menjalani kehidupan mereka.
Dengan kondisi alam yang keras, dan tanah yang kurang subur, mereka menghidupi hari-hari mereka dengan memancing/menombak ikan atau menjadi nelayan.
Menurut keterangan beberapa penduduk lokal, tanaman yang bisa tumbuh di Lamalera dalah tanaman sejenis kelor, oleh karena itu mereka sangat bergantung pada hasil laut.

Menurut hukum internasional, Lamalera merupakan satu-satunya tempat yang diperbolehkan untuk berburu paus di dunia, musim perburuan paus ada pada bulan Mei - Oktober dan rata-rata selama musim perburuan tersebut mereka mendapatkan paus sebanyak 20-30 ekor pertahunnya,

Jumlah itu cukup untuk menghidupi mereka, karena dari bulan Oktober sampai Mei, mereka tidak terlalu sering melaut akibat cuaca yang jelek,

Adapun jenis paus yang diambil oleh para nelayan Lamalera adalah Sperm Whale (koteklema) dan Killer Whale (seguni), walaupun seguni paing banyak hanya setahun sekali lewat di perairan Lamalera. Para nelayan tidak akan memburu Blue Whale karena ada keterikatan batin dengan leluhur mereka yang pada saat migrasi ke pulau Lembata mereka ditolong oleh Blue Whale.

Disaat berburu mereka menggunakan perahu tradisional yang menggunakan dayung..... dan berdiri di depan perahu adalah seorang lamafa atau penombak yang memegang tempuling atau tombak Seorang lamafa juga bisa diibaratkan seorang pemimpin saat perburuan. Sebab, saat melihat baleo (ikan paus), sang lamafa akan memimpin doa sebelum peledang turun melakukan perburuan. Lamafa bersama matros (tukang dayung), breung alep (asisten lamafa), dan lamauri juga tidak boleh memiliki masalah saat di darat. Masalah itu harus diselesaikan agar perburuan berjalan lancar.

Anak-anak berebut memakan mata ikan terbang saat perahu mendarat

gotong royong adalah ciri utama di Lamalera

Nikmatnya mata ikan untuk disantap
Saya tidak akan berbicara banyak tentang paus karena masih menimbulkan kontroversi, akan tetapi perlu dipahami bahwa ikan adalah sumber kehidupan utama mereka, dan mereka hanya mengambil yang mereka perlukan untuk makan.

Selain paus, mereka juga memancing ikan pari dan lumba-lumba, ikan hiu serta sejenis ikan terbang.

Setiap hasil tangkapan akan dibagi rata berdasarkan ketentuan yang sudah ada di kampung dari ratusan tahun yang lalu.

Melihat kehidupan masyarakat disini, yang letaknya harus ditempuh kurang lebih 4 jam perjalanan dari kota kabupaten, saya sangat terkesan dengan cara mereka bertahan hidup.

Perahu khas untuk berburu paus

Daging lumba-lumba sedang dijemur

Garasi Kapal-kapal penangkap ikan di Lamakera

Gerbang menuju pemukiman penduduk di Lamalera

Nelayan pulang ke pantai sore hari setelah menangkap ikan

Hasil tangkapan dibagi dan dibawa pulang

Pembagian hasil tangkapan

Kebersamaan adalah segalanya